Indonesia dan Ethiopia merupakan negara yang walaupun tentu saja memiliki banyak perbedaan, namun juga memiliki banyak kesamaan dari segi kondisi alamnya. Walaupun Ethiopia tidak persis terletak di garis khatulistiwa, namun juga memiliki hutan yang mirip dengan hutan hujan tropis di Indonesia. Hal yang mungkin membedakan kedua negara adalah Indonesia dikelilingi lautan sementara Ethiopia merupakan negara yang hanya dikelilingi daratan dan tidak memiliki lautan. Kedua negara juga memiliki kesamaan sebagai sesama negara yang mempunyai budaya memelihara lebah, terutama untuk diambil madunya.
Terlepas dari berbagai fakta bahwa begitu banyak peninggalan sejarah tertua di dunia berada di Ethiopia, seperti fosil dan Injil, budidaya lebah madu di Ethiopia juga sudah dilakukan sejak tiga abad silam dan sampai kini menjadi budaya yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat di Ethiopia.
Dengan jumlah penduduk 105 juta jiwa, dua juta diantaranya atau sekitar 1,9% dari jumlah penduduk Ethiopia memelihara madu dengan jumlah koloni mencapai 10 juta koloni. Walaupun 90% dari jumlah tersebut masih dilakukan dengan metode budidaya yang sangat tradisional yaitu menggunakan bentuk sarang lebah berbentuk silinder dari bambu dan lumpur, namun karena dilakukan secara masif, maka produksi madu Ethiopia dapat mencapai 53.000 ton per tahun, jauh lebih tinggi dari jumlah produksi madu di Indonesia yang hanya mencapai 1000–1.500 ton per tahun. Jumlah tersebut merupakan 23,6% dari jumlah produksi madu benua Afrika. Tingginya produksi madu Ethiopia menempatkan Ethiopia sebagai produsen madu ke-10 di dunia. Madu yang dihasilkan bervariasi sesuai vegetasi sumber polen dan nektar yang tersedia. Ethiopia kini memiliki basis data yang sangat lengkap mengenai 88 jenis kelompok tanaman unggulan penghasil nektar dan polen sebagai sumber makanan bagi lebah. Database tersebut memuat jenis dan karakteristik tanaman, foto bunga tanaman serta kalender pembungaan kapan tanaman tersebut berbunga dan menjadi sumber makanan bagi lebah. Ethiopia memang merupakan negara yang memiliki banyak sekali tanaman berbunga. Bahkan, terlepas ada kaitannya atau tidak, arti dari nama Ibukotanya, Addis Ababa, adalah “bunga baru”.
Selain madu, Ethiopia sangat mengunggulkan hasil samping berupa lilin lebah (Beeswax) sebagai produk lain dari budidaya madu. Dengan berbagai macam potensi penggunaan yang sangat banyak dari Beeswax, nilai tambah Beeswax juga menjadi andalan bagi pendapatan masyarakat. Saat ini produksi Beeswax Ethiopia mencapai 5.300 ton per tahun. Jumlah tersebut menjadikan Ethiopia sebagai negara penghasil Beeswax tertinggi di Afrika dan keempat di dunia.
Produktivitas madu Ethiopia yang jauh lebih besar dibandingkan dengan produktivitas madu Indonesia juga salah satunya disebabkan oleh perbedaan lebah yang dibudidayakan. Ethiopia membudidayakan lebah dari jenis Apis Melifera yang memiliki ukuran lebih besar dibandingkan dengan jenis lebah Apis cerana yang umum dibudidayakan di Indonesia.
Sebenarnya, Ethiopia menghadapi berbagai macam kendala dalam budidaya lebah Apis melifera. Tantangan tersendiri yang dihadapi yaitu karakter lebahnya yang demikian agresif sehingga panen madu dan Beeswax hanya bisa dilakukan pada malam hari. Tantangan lain yang dihadapi oleh masyarakat Ethiopia adalah masih tingginya masyarakat di Ethiopia yang buta huruf, sehingga pengetahuan mengenai budidaya madu masih sangat terbatas. Dalam kesehariannya bahkan masyarakat Ethiopia sebagian besar tidak mampu untuk membuat kandang lebah modern berbentuk kotak disebabkan ketiadaan peralatan pertukangan dan pengetahuan dalam pembuatannya yang sebenarnya dapat dilakukan dengan perhitungan dan peralatan yang sederhana. Kendala berikutnya adalah kondisi alam di Ethiopia dimana pada musim penghujan suhu menjadi sedemikian dingin sehingga lebah cenderung untuk menjadi tidak produktif dan hanya mempertahankan kehidupannya saja. Dibandingkan dengan di Indonesia, suhu ketika musim penghujan jauh lebih ekstrim dan tidak bersahabat bagi lebah. Namun, sejauh ini berbagai macam kendala tersebut tidak menghalangi Ethiopia untuk tetap serius memproduksi madu dan produk lebah lainnya. Indonesia yang secara tingkat pendidikan masyarakatnya jauh di atas Ethiopia, serta memiliki 7 dari 9 jenis lebah yang dapat memproduksi madu, seharusnya juga dapat meniru Ethiopia untuk giat mengembangkan budidaya lebah madu sebagai salah satu komoditas unggulan dari sektor pertanian, perkebunan dan perhutanan.
Dukungan dari segi budaya masyarakat dalam beternak lebah diperkuat dengan adanya pusat penelitian lebah di Holeta, bagian dari wilayah Oromiya. Pusat Penelitian Lebah Holeta (Holeta Bee Research Center) menjadi pusat kegiatan penelitian seluruh aspek dari lebah. Dilengkapi dengan sarana dan infrasatruktur yang sangat canggih, empat laboratorium yakni di bidang kualitas produk lebah, kesehatan lebah, pembibitan lebah, serta botani lebah, menjadi penunjang utama kegiatan penelitian perlebahan di Ethiopia. Laboratorium produk lebah secara spesifik meneliti dan mengawasi produk-produk lebah yang dihasilkan untuk memastikan produk seperti madu dan Beeswax yang akan dijual ke pasaran memiliki kualitas yang standar. Laboratorium kesehatan lebah menjadi sarana utama dalam pemantauan dan penelitian segala jenis penyakit dan hama yang dijumpai pada lebah. Hal ini bertujuan agar lebah senantiasa berada pada kondisi kesehatan yang prima sehingga berproduksi secara maksimal. Begitu pula dengan laboratorium pembibitan lebah yang secara akurat memastikan genetika lebah yang dibudidayakan merupakan genetika lebah unggulan. Laboratorium botani lebah menjadi sarana utama dalam mengetahui kualitas polen dan nektar dari seluruh jenis tanaman yang dijumpai di Ethiopia dan berpotensi untuk menjadi sumber makanan bagi lebah. Pusat penelitian yang mulai didirikan pada tahun 1965 dan memiliki 53 peneliti serta 60 orang tenaga pendukung ini berperan aktif dalam sosialisasi dan pendidikan perlebahan terhadap masyarakat dengan memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para penyuluh perlebahan di daerah-daerah. Sudah lebih dari 2000 orang tenaga penyuluh yang dilatih oleh pusat penelitian ini. Berbagai macam publikasi diterbitkan oleh lembaga yang berada di bawah Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Ethiopia ini.
Kini, Ethiopia sedang gencar meningkatkan produktivitas madu dan beeswaxnya untuk menyasar potensi 500.000 ton madu dan 50.000-ton beeswax per tahun. Berbagai upaya tengah gencar dilakukan dari mulai hulu dimana masyarakat dilatih untuk mulai membudidayakan lebah pada kandang modern, sampai pada hilir mata rantai dimana para eksportir tergabung dalam sebuah wadah asosiasi yang efektif. Koordinasi yang demikian rapi terstruktur antara lembaga penelitian, universitas, kementerian, pemerintah daerah, pelaku usaha serta para pemuka masyarakat.
Selain menyasar pasar Eropa dan Amerika, Ethiopia kini juga menyasar pasar Asia, dimana Indonesia menjadi salah satu targetnya, sebagai tujuan ekspor madu dan beeswax-nya. Langkah tersebut kini diperkuat dengan dibukanya rute penerbangan baru yang langsung dari Addis Ababa ke berbagai tujuan di dunia. Mulai 19 Juli 2018, salah satu maskapai yang berasal dari Ethiopia dan merupakan salah satu maskapai terbesar di Afrika membuka rute penerbangan langsung ke Jakart, Indonesia. Kini, semuanya berpulang kembali kepada kita masyarakat Indonesia. Dengan potensi produksi madu yang juga tidak kalah besar, akankah Indonesia akan hanya menjadi pasar bagi produk madu Afrika atau kita akan menggeliat dan juga menghasilkan madu dan produk lebah lainnya. Silahkan anda memilih.
Penulis :
Anas Bunyamin (Dosen Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran)
Wahyu Gunawan (Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran)