Oleh : Avry Pribadi (Entomology The University of Georgia, US dan Balai Litbang Teknologi Serat Tanaman Hutan)
Tidak banyak orang bahkan para peternak lebah madu dan penjual produk perlebahan sekalipun yang mengingat bahwa tanggal 20 Mei merupakan hari lebah madu sedunia.
Padahal telah banyak manfaat baik itu ekonomi dan kesehatan yang telah diberikan oleh mahluk yang disebut dalam Al Quran oleh Allah SWT.
Meskipun demikian, mayoritas masyarakat di Indonesia lebih mengenal lebah madu hanya sebagai serangga penghasil madu saja,
padahal ada manfaat lain yang lebih dari sekedar penghasil madu yaitu sebagai serangga pollinator atau penyerbuk.
Peran sebagai serangga penyerbuk ini sebenarnya jauh lebih penting dari sekedar menghasilkan madu. Di Indonesia yang memiliki keragaman hayati terbesar ketiga di duniapun, masyarakatnya masih belum merasakan pentingnya keberadaan lebah ini sebagai sesuatu yang penting.
Hal ini justru berkebalikan dengan negara-negara maju seperti di AS dan Eropa yang sudah lebih menghargai keberadaan serangga yang satu ini.
Bagi orang awam mungkin kesulitan dalam membedakan mana serangga yang termasuk lebah madu atau serangga biasa dan bahkan sering kali terjadi salah identifikasi dengan jenis tawon karena sama-sama hidup berkoloni.
Salah satu karakter yang memudahkan untuk mengidentifikasinya adalah dengan mengenali bagian kaki belakang serangga yang melebar dan berfungsi sebagai “keranjang tepung sari/pollen ataupun propolis” yang juga merupakan sumber protein bagi koloninya.
Sedangkan propolis merupakan materi antioksidan yang berfungsi sebagai antibakteri, antijamur, dan antivirus. Bahkan produk propolis ini dicoba untuk dikembangkan oleh para peneliti di UI sebagai salah satu alternatif obat dalam menanggulangi serangan Covid-19 .
Indonesia memiliki keragaman serangga lebah madu yang relatif jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara seperti AS dan Eropa.
Jika di negara-negara tersebut hanya bergantung pada jenis lebah Apis mellifera sebagai serangga pollinator dan produksi madu, di Indonesia memiliki tidak kurang dari tujuh jenis lebah madu.
Tingginya kekayaan serangga lebah madu ini diibaratkan seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, kita layak berbangga dengan apa yang kita punya.
Akan tetapi di sisi lain terkadang kita menganggap remeh keberadaan lebah-lebah tersebut karena kebanyakan dari kita beranggapan bahwa jika satu jenis lebah punah maka masih ada jenis-jenis yang lain sehingga terkadang kita abai akan hal ini.
LIPI mencatat sedikitnya ada tujuh jenis lebah madu dari kelompok bersengat yang tercatat pernah ditemukan di Indonesia seperti Apis florea, Apis adreniformis, Apis dorsata, Apis cerana, Apis koschevnikovi, Apis nigrocincta, dan Apis mellifera.
Diantara tujuh jenis tersebut, hanya tiga yang telah mampu dimanfaatkan masyarakat yaitu A. dorsata atau dikenal dengan nama lebah sialang oleh masyarakat Riau,
A. cerana atau lebah timur (eastern honey bees) atau yang lebih dikenal sebagai lebah lokal, dan A. mellifera atau lebah barat (western honey bees) atau yang dikenal sebagai lebah unggul.
Selain jenis lebah bersengat, Indonesia juga memiliki lebah tidak bersengat (stingless bees). Bahkan menurut Kahono, pusat keragaman lebah tidak bersengat di benua Asia adalah berada Indonesia dengan jumlah tidak kurang dari 43 species.
Beberapa diantaranya yang telah banyak dibudidayakan di Riau sekitar satu decade ini, seperti jenis Heterotrigona itama, Geniotrigona thoracica, dan Trigona apicalis.
Hal ini sudah dapat menggambarkan keragaman dan kekayaan serangga lebah madu di Indonesia.
Untuk produksi madu sendiri, menurut data yang diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, produksi madu di Indonesia sekitar 75-80% masih ditopang oleh lebah hutan sedangkan sisanya adalah disumbang oleh jenis lebah ternak baik jenis A. mellifera, A. cerana, dan kelompok lebah tidak bersengat.
Banyak studi menyebutkan bahwa peranan lebah madu sebagai serangga pollinator atau penyerbuk memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi dibanding hanya sebagai serangga penghasil madu.
Tidak kurang dari 75% tanaman produk pertanian di seluruh dunia membutuhkan jasa lebah untuk dapat diserbuki.
Sebagai contoh, manfaat ekonomi yang dihasilkan oleh lebah sebagai serangga penyerbuk tanaman timun, alfafa, apel, kacang almond, dan lain lainnya di Amerika Serikat mencapai angka lebih dari 15 milyar US dollar dan di saat yang sama,
produk madu yang dihasilkan hanya mencapai 150 juta US dollar atau dapat dikatakan bahwa peranan sebagai serangga penyerbuk bernilai lebih dari 100 kali dari hanya sebagai serangga penghasil madu.
Sebagai informasii bahwa mayoritas dari produk-produk pertanian di Amerika Serikat harus menggantungkan proses penyerbukannya dengan memanfaatkan lebah (A. mellifera),
sehingga para petani harus “menyewa” lebah-lebah tersebut kepada para peternak lebah atau dengan kata lain, kehidupan para petani sangatlah bergantung pada lebah agar tanaman mereka berbuah.
Ditambah lagi dengan masalah iklim yang memaksa mereka hanya dapat melakukan aktivitas bertani hanya di musim panas,
sehingga mereka harus memaksimalkan segala usaha pertanian dalam jangka waktu yang singkat dan tidak boleh gagal hanya gara-gara ketidaktersediannya lebah untuk menyerbuki tanaman mereka.
Karena begitu pentingnya lebah bagi kehidupan mereka, negara bagian Georgia (salah satu negara bagian di Amerika Serikat) bahkan telah menetapkan lebah sebagai ikon atau simbol negara bagiannya.
Hal yang berbeda dijumpai di Indonesia, masyarakat dan para petani pada umumnya belum begitu menyadari tentang pentingnya keberadaan lebah.
Kebanyakan masih beranggapan bahwa lebah tidak lebih sebagai serangga penghasil madu dan bukan sebagai serangga penyerbuk. Hal ini terlihat dari minimnya kepedulian masyarakat dalam mengkonservasi kehidupan lebah.
Sebagai contoh adalah begitu masivenya penggunaan insektisida, perubahan landscape ekosistem, sampai pada kebakaran hutan.
Salah satu alasan kenapa sebagian besar masyarakat belum menyadari pentingnya lebah sebagai serangga penyerbuk adalah mereka belum merasakan dampak atau pengaruh langsung keberadaan lebah bagi tanaman mereka.
Terlebih lagi di Indonesia tidak mengenal sistem sewa koloni lebah seperti di Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan masih banyak serangga penyerbuk lain selain lebah yang mampu menyerbuki tanaman mereka, atau dengan kata lain mereka beranggapan meskipun lebah punah masih ada jenis serangga penyerbuk lainnya seperti lalat, kumbang, kupu-kupu, dan lain-lain atau bahkan tidak ada lebahpun tanaman mereka masih akan berbuah.
Sehingga banyak diantara mereka yang tidak peduli dengan penggunaan insektisida yang terkadang berlebihan.
Meskipun pada saat sekarang masyarakat belum merasakan kehadiran lebah sebagai serangga penyerbuk, namun apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut maka dampaknya akan sangat berbahaya bagi ketahanan pangan di masa depan.
Ketidakpedulian masyarakat terhadap kelestarian lebah di Indonesia dapat dikatakan masih sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya regulasi yang secara tegas mengatur tentang habitat pohon sialang dan hutan kepungannya kecuali hanya berupa hukum lokal atau adat.
Seperti kita ketahui bahwa Riau mengalami penurunan populasi lebah hutan dari tahun ke tahun. Penurunan tersebut disebabkan oleh banyak faktor,
diantaranya adalah berkurangnya pohon sialang dan vegetasi pakannya sebagai akibat dari konversi lahan, kebakaran hutan, sampai pada tehnik pemanenan yang tidak lestari.
Beruntung sebagian petani lebah hutan di Riau sekarang telah menerapkan panen secara lestari atau yang dikenal sebagai panen sunat.
Akan tetapi, hal tersebut tidak mampu membendung laju penurunan populasi lebah hutan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Balai Litbang Teknologi Serat Tanaman Hutan (BP2TSTH) di tahun 2005 s.d 2006 menunjukkan bahwa Riau masih memiliki tidak kurang dari 2011 pohon sialang dengan rata-rata sekitar 23 sarang lebah hutan per pohonnya.
Sementara pada studi lain yang dilakukan oleh Budi Tjahjono dkk pada tahun 2017 s.d 2018 menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan populasi pohon sialang sejumlah 40% dan 60% untuk jumlah koloni lebah hutannya.
Sebuah studi lain yang dilakukan oleh BP2TSTH di kabupaten Kampar juga menunjukkan dalam rentang tahun 2000 s.d 2015 sedikitnya terdapat 12 jenis pohon sialang yang sudah tidak lagi ditemukan sebagai akibat dari kegiatan alih fungsi lahan.
Hal inipun akan berdampak pada penurunan populasi lebah hutan yang ada dan berdampak langsung pada penurunan jumlah produksi madu tidak kurang dari 80 ton dibandingkan awal tahun 2000.
Permasalahan selanjutnya adalah kebakaran hutan yang seakan menjadi langganan setiap tahunnya bagi propinsi Riau. Sudah menjadi rahasia umum bahwa lebah atau serangga pada umumnya merupakan hewan yang sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan terutama asap.
Kejadian kebakaran hutan terakhir yang terjadi pada tahun 2019 telah menyebabkan hampir seluruh lebah hutan bermigrasi ke propinsi tetangga yang relatif lebih aman seperti Sumatera Barat.
Hal ini menyebabkan sentra madu di hampir seluruh kabupaten di Riau seperti Siak, Pelalawan, dan Kampar tidak menghasilkan madu.
Bahkan di kabupaten Siak lebah hutan butuh waktu hampir empat bulan sejak musim kebakaran lahan dan hutan berakhir untuk bermigrasi kembali ke Siak dan mulai menghasilkan madu lagi.
Ini merupakan suatu kerugian yang sangat besar dan mungkin para petani madu hutan baru menyadari bagaimana pentingnya lebah bagi mereka.
Permasalahan lainnya adalah hilangnya vegetasi pakan lebah hutan secara besar-besaran sebagai akibat dari perubahan kebijakan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang mengganti jenis Acacia mangium sebagai tanaman bahan bakunya.
Perlu diketahui bahwa jenis tanaman ini menghasilkan pakan yang begitu banyak dan tidak mengenal musim bagi lebah.
Bahkan madu hutan di Riau pun sampai dikenal karena berasal dari tanaman A. mangium atau madu akasia.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, perusahaan HTI mulai mengganti tanaman A. mangium tersebut dengan jenis Eucalyptus yang hanya menghasilkan pakan ketika memasuki masa tebang (4 s.d 5 tahun),
sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap produksi madu dan sudah dirasakan oleh para petani madu terutama di daerah dengan tipe tanah mineral seperti Kabupaten Kampar,
sedangkan di daerah dengan tipe lahan gambut, produksi madunya tidak terlalu berpengaruh karena perusahaan HTI masih mempertahankan jenis Acacia crassicarpa.
Jenis lebah lainnya seperti lebah ternak jenis A. mellifera atau yang dikenal lebah Eropa pun tidak jauh dari beberapa permasalahan.
Jenis lebah ini begitu massive diternakkan di pulau Jawa dan mulai berekspansi ke luar pulau seperti di Jambi. Lebah ini memiliki produktivitas yang jauh lebih baik dibanding lebah lokal jenis A. cerana.
Bagi peternak yang memiliki modal banyak pasti akan cenderung memilih jenis lebah ini. Akan tetapi, jenis lebah ini sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan dibanding oleh jenis lebah hutan.
Penggunaan insektisida yang berlebihan dapat mempengaruhi aktivitas lebah seperti tingkat keakuratan dalam melakukan tarian lebah yang mana sangat penting dalam aktivitas mengumpulkan makanan dan bahkan sampai menyebabkan kematian pada dosis tertentu.
Bagi para peternak lebah di dunia pasti mengenal apa yang disebut Colony Collapse Disorder (CCD) yang pertama kali dilaporkan pada tahun 2006.
Gejala yang muncul apabila suatu koloni lebah terserang penyakit ini adalah hilangnya seluruh lebah pekerja yang berusia dewasa di dalam satu koloni dan hanya meninggalkan ratu dengan beberapa lebah pekerja yang masih muda dalam waktu yang bersamaan.
Bahkan sampai sekarang penyakit ini masih menjadi momok menyeramkan bagi para peternak lebah karena tidak diketahui penyebab dan cara mengatasinya.
Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa CCD disebabkan oleh kombinasi beberapa factor seperti parasit, insektisida, dan kondisi nutrisi yang buruk yang kemudian dapat menurunkan imunitas lebah sehingga mereka akan dengan mudah terserang infeksi.
Satu lagi permasalahan yang menyerang lebah unggul ini adalah keberadaan tungau. Hampir seluruh populasi lebah unggul di dunia kecuali Australia memiliki masalah dengan jenis parasit ini.
Tungau lebah (Varroa destructor) merupakan tungau yang aslinya berasal dari indonesia yang berinang pada lebah lokal jenis A. cerana dan sekarang sudah menyebar ke hampir seluruh populasi lebah di dunia.
Di pulau Jawa, para peternak lebah ini telah banyak mengalami permasalahan dengan tungau ini (karena memang tungau ini aslinya berasal dari Indonesia, khususnya pulau Jawa).
Pengobatan dengan menggunakan bahan kimia adalah hal yang lazim digunakan karena cenderung lebih cepat dan efektif dalam mengendalikan tungau ini meskipun memiliki dampak negatif.
Jenis lebah lokal yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat umum adalah jenis A. cerana (lebah asia) atau masyarakat Kampar menyebutnya dengan nama lebah sayak.
Lebah ini memiliki karakteristik tubuh hampir menyerupai lebah eropa namun lebih kecil, produktivitas madunya yang rendah, dan agresif namun lebih tahan terhadap serangan tungau.
Telah banyak studi yang menyebutkan bahwa populasi lebah ini mengalami penurunan yang signifikan salah satunya oleh Institute for Bee Research Hohen Neuendorf & Humboldt University of Berlin.
Dalam laporannya dinyatakan bahwa populasi lebah A. cerana di Indonesia dan Malaysia mengalami penurunan yang drastis dibandingkan Thailand yang justru mengalami peningkatan populasinya.
Permasalahan utamanya adalah perubahan landscape dan hilangnya habitat dan persaingan dengan jenis lebah lain terutama lebah A. mellifera terutama di Pulau Jawa.
Sebuah survey yang dilakukan oleh Departemen Pertanian AS menunjukkan bahwa jumlah populasi lebah ini mengalami penurunan sekitar 50% lebih dalam satu abad yang disebabkan oleh banyak faktor.
Hal ini apabila dibiarkan tanpa adanya penanganan yang solutif maka akan sangat berdampak pada kehidupan manusia yang mana beberapa contoh telah disebutkan di atas.
Solusi yang bersifat aplikatif, menyeluruh, dan mudah dilaksanakan bagi masyarakat dengan dukungan regulasi yang jelas antara reward and punishment merupakan jalan keluar yang perlahan dapat membendung laju penurunan populasi lebah.
Akan tetapi, sebenarnya kunci dalam menyelamatkan lebah sebenarnya adalah kepedulian.
Berawal dari kepedulian inilah yang akan menyelamatkan populasi lebah, kepedulian jika tidak ada lebah maka tidak ada produk pertanian yang dapat dihasilkan, dan akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia.
Beberapa aktivitas kecil yang dapat kita mulai lakukan dalam mengkonservasi lebah adalah (1) tidak menggunakan insektisida secara berlebihan, (2) melakukan penanaman tanaman pakan lebah,
(3) membuat rumah-rumah lebah sederhana, dan (4) tidak melakukan perusakan terhadap sarang-sarang lebah (jika memang sudah dianggap mengganggu dapat menggunakan jasa pemadam kebakaran untuk memindahkannya).
Akan tetapi, beberapa hal kecil tersebutpun terkadang masih banyak masyarakat awam yang acuh dan cenderung untuk mengabaikannya dengan berbagai alasan misalnya butuh modal dan tidak adanya waktu untuk melakukan hal-hal tersebut.
Sehingga, penulis mengusulkan hal yang termudah adalah tidak menggunakan insektisida secara berlebihan.
Sedangkan pada aspek yang lebih luas lagi adalah dengan membuat regulasi yang tegas terkait konservasi lebah dan habitatnya, misalnya dengan pembuatan peraturan yang memiliki dampak lebih luas seperti pelarangan penebangan pohon sialang,
konversi lahan atau merubah landscape secara massive, sampai pada pembuatan lokasi-lokasi tempat konservasi lebah.
Sebuah studi yang penulis lakukan dengan membuat pemodelan menunjukkan bahwa populasi lebah hutan akan meningkat secara signifikan apabila berada pada hutan kepungan yang luasnya lebih dari 60.000 ha dan akan menurun drastis apabila berada di antara tanaman karet dan Acacia yang masing-masing lebih dari 5000 ha dan 6000 ha.
Satu hal yang juga menjadi penting adalah melakukan edukasi kepada masyarakat tentang mengapa kita harus mengkonservasi keberadaan lebah di tengah-tengah kita.
Kegiatan pertemuan-pertemuan dan workshop tentang membangun kepedualian masyarakat tentang lebah mungkin kurang begitu diminati oleh masyarakat karena hanya bersifat teori dan akan selesai bersamaan dengan kegiatan pertemuan tersebut atau dengan kata lain tidak ada keberlanjutannya.
Kegiatan yang efektif tidak sekedar hanya pada pertemuan tertutup tapi juga meliputi kegiatan fisik atau lapangan yang benar-benar dapat dipraktekan bersama.
Sehingga kepedulian masyarakat akan terbangun setelah melihat apa yang sudah dikerjakan dan hasil yang diperoleh.
Salah satu contoh kecil yang pernah kami lakukan adalah membuat rumah-rumah lebah sederhana dari bahan bambu dan batang kelapa yang kemudian ditempati oleh lebah dalam waktu tertentu yang kemudian lebah-lebah tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Salah satu metode lain dalam membangun kepedulian adalah dengan membuat sarana wisata edukasi. Konsepnya adalah membuat semacam taman yang berisi berbagai jenis bunga-bunga yang disukai lebah yang diatur sedemikian rupa sehingga menambah nilai seni dan daya tariknya.
Melalui sarana ini diyakini bahwa masyarakat awam dapat mempelajari dan berinteraksi secara langsung dengan lebah seperti aktivitas memanen madu langsung dari stup lebah.
Perlu juga dibuat semacam diorama tentang sejarah hubungan manusia dengan lebah dan juga menceritakan apa yang terjadi jika lebah tidak ada di dunia. Konsep terakhir yang menurut penulis lebih efektif adalah dengan melakukan edukasi sejak dini kepada anak-anak.
Edukasi tentang apa itu lebah dan bagaimana perannya bagi kehidupan mereka akan sangat membekas pada ingatan mereka sehingga akan terbawa di masa mereka dewasa. Selain itu, dirasa juga perlu memasukkan materi konservasi lebah pada kurikulum sekolah.
Penulis menyakini bahwa beberapa kegiatan tersebut telah ada pihak-pihak yang berkecimpung di bidang tersebut dan bahkan sudah menjadi sesuatu yang berbau komersialisasi.
Akan tetapi, tidak ada salahnya institusi pemerintah juga harus mengambil peran dalam bidang edukasi ini terutama yang berwenang dalam bidang ilmu dan pengetahuan.
Hal ini bukan tanpa alasan, karena institusi pemerintah dalam bidang ini merupakan suatu organisasi yang jauh dari kepentingan komersialisasi sehingga terbebas dari banyak kepentingan yang terkadang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu dengan memberikan informasi yang kurang tepat.
Harapan dan mimpi penulis dalam konservasi lebah sebenarnya cukup besar yaitu masyarakat benar-benar menjadi peduli dengan keberadaan lebah seperti pengalaman yang penulis dapat sewaktu sekolah di AS.
Sebagian masyarakat AS yang penulis temui mengatakan bahwa mereka memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lebah.
Akan tetapi, kita sebagai salah satu bangsa dengan keragaman lebah terbanyak diharapkan telah mulai menyadari bahwa apabila tidak ada perubahan yang serius dengan pemikiran kita selama ini tentang kepedulian terhadap lebah,
maka kita akan menghadapi masalah pangan di masa depan dan bukan hanya sekedar pasokan madu yang berkurang. (*)